Perdagangan Internasional

Danang Priabada
2 min readMar 10, 2021

--

Perdagangan internasional di tahun 1–1000 M itu adalah perdagangan antara tuan tanah, yang berkeluarga besar dan bolehlah kita sebut kerajaan. Maka wajar jika selama 5000 tahun (indikasinya) dari 4000 SM sampai 1000 M itu jejak pala, lada, cengkeh, kayumanis, cendana, dan kemenyan bisa sampai Mesir, Romawi, dan Cina. Sangat wajar karena inisiatif tuan-tuan tanah bergelar raja ini tidak perlu kesepakatan dengan rakyatnya, model pembayarannya juga tunai di tempat, tak ada perantara modal dagang, tak ada asuransi, maka wajar jika kapal dagang pasti bersenjata, resiko bajak laut kargo selalu ada di tiap pojokan selat dan landas kontinen.

Kemegahan perdagangan masa lalu yang didominasi raja-raja lokal ini tidak bisa diklaim bahwa generasi sekarang ‘harusnya’ bisa meneladani mereka, beda kisah. Tahun 1000–1600 M mulai muncul penyeimbang raja yang biasanya dilegitimasi dengan ‘agama resmi’, bahwa raja adalah wakil (T)uhan di bumi sekaligus memiliki tanah, artinya agama raja berarti agama rakyatnya. Nah, kaum saudagar yang tak punya kuasa tanah mulai membangun asosiasi dagang, liga pedagang, yang berusaha menghindari blokade dagang jika ada raja berkonflik rebutan tanah warisan atau tahta. Kebetulan memang pergeseran ini juga menjadi indikasi pergeseran agama menjadi lebih individual, permodalan menjadi lebih terbuka buat semua jelata tanpa memandang status kepemilikan tanah, serta memungkinkan jual beli kepemilikan badan usaha (saham).

Tahun 1300–1600 M bersamaan dengan pergeseran orientasi kepemilikan modal, kaum saudagar mulai membangun asosiasi dagang yang lebih mendunia, menantang kuasa raja-raja dinasti yang legitimasi (biasanya) juga sebagai pemuka agama resmi. Pemodal mulai membangun jejaring surat berharga yang bisa diperjualbelikan antar benua, bahkan termasuk asuransi. Berbeda dengan era ketika raja dinasti memegang kuasa tanah secara konsentris, di jaman ini individu jelata mulai pegang kedaulatan dengan terbukanya mekanisme pajak perdagangan untuk membiayai negara, bukan lagi pajak sewa tanah atau hasil pertanian.

Tahun-tahun 1600–1800 M adalah saat beroperasinya versi beta dari republik modern dan korporasi multinasional yang basisnya adalah murni kesepakatan bersama, bukan lagi mandat tafsir (T)uhan yang dibebankan dalam sosok raja (dan kroninya).

Namun di sisi lain, di wilayah yang menjadi pemasok bahan baku, kondisinya dibiarkan raja-raja pemilik tanah berkuasa, ditaklukkan untuk digaji dari ongkos produksi bahan baku murah.

Tahun 1800–2021, pihak sama yang mendirikan asosiasi perdagangan antar benua, kartel bank, dan distribusi logistik antar benua adalah pihak yang kurang lebih sama, hanya disempurnakan saja.

Jadi membandingkan kejayaan raja-raja masa lalu dalam berdagang tidak relevan dengan perdagangan modern, karena beda level kesepakatan.

Jika memang sudah tidak ada kerajaan dinasti lagi, apakah rakyat sipil yang bersepakat mendirikan entitas republik bisa menikmati kesejahteraan dari volume perdagangan berjalan? Jika tidak juga, berarti akumulasi kekayaan gagal terdistribusi dengan baik, tak perlu melarikan diri ke masa lalu, perbaiki saja kondisi sekarang.

--

--

Danang Priabada
Danang Priabada

Written by Danang Priabada

Red Hat and IBM Product Specialist | JPN : プリアバダ ダナン | CHN : 逹男 | linktr.ee/danangpriabada

No responses yet