Mazhab Ekonomi Distribusi dan Akumulasi

Danang Priabada
3 min readMar 3, 2021

--

Petani Viking abad ke-11 (tahun 1000-an M) itu tinggal di wilayah tandus dan dingin, matahari tidak muncul konsisten selama 12 bulan penuh. Hidup mereka seadanya sembari menjadi nelayan, maka wajar ikatan sosial mereka kuat. Modal sosial (social capital) adalah upaya bertahan hidup masyarakat semi petani pemburu-nelayan (hunter-forager), karena jika paceklik dan cuaca tidak menentu, mereka bertahan hidup dengan berbagi makanan. Mazhab ekonomi mereka adalah ‘mazhab distribusi’ dimana kekayaan diukur dari jumlah relasi keluarga-marga, karena disitulah peluang kehidupan diukur, soal kemampuan bertahan hidup dan melanjutkan generasi (pasangan kawin). Mazhab yang sama dianut juga oleh pemburu nomad Mongol, tanahnya tandus bergurun minim sumber air, ikatan sosial mereka sangat kuat, nilai perempuan juga dihargai tinggi, karena angka kematian tinggi dan mereka perlu penjamin pelanjut generasi sambil berusaha mempertahankan sumber makanan.

Terkesan remeh memang, petani-nelayan Viking dan pemburu-peternak nomad Mongol menyerbu wilayah lain (raider) karena alasan makanan, bukan begitu? Ya karena kita disuguhin oleh konflik ideologi itu lebih dramatis, padahal selama ini pemicu konflik selalu dimulai dari makanan dan pasangan kawin, memang tidak keren kita juga paham, sayangnya itu fakta sederhana yang sering diabaikan: soal perut dan keluarga. Yang menjadi sasaran serbu populasi bermazhab ekonomi ‘distribusi’ ini adalah wilayah-wilayah yang menganut mazhab ekonomi ‘akumulasi’, yang sudah canggih sistem transaksinya, memungkinkan terjadinya kekayaan dengan pengumpulan alat tukar atau aset lain, dan tidak menggunakan ikatan sosial sebagai modal kekayaan, melainkan modal finansial (financial capital).

Mazhab ekonomi akumulasi dan distribusi ini berhubungan dengan hubungan sosial, keterikatan dengan ruang dan suasana, serta instrumen lain yang sukar divaluasi. Maka wajar jika ada orang kaya mendadak karena menang lotre atau tanahnya dibeli pemerintah, dalam 5 tahun kembali ke posisi semula (miskin-menengah), dan itu bukan karena mereka tamak, bodoh, gagal berinvestasi, bukan! Mentalitas solider khas orang yang dibesarkan sebagai petani-nelayan cum pirates-raider saat musim paceklik memang sukar ditinggalkan begitu saja. Uang itu akan dibagikan ke saudara dan tetangga handai taulan, bukan buat diinvestasikan lagi, jarang sekali yang bisa switch mental dari mazhab ekonomi distribusi ke akumulasi, itu tidak mudah.

Ambtenaar (priyayi lokal) tahun 1800–1942 yang digaji oleh pemerintah pusat Hindia Belanda juga menganut mentalitas ganda semacam di atas, memelihara hubungan keluarga besar tapi dengan gaji-tunjangan serba terbatas, sedangkan mereka harus menjaga muka di hadapan sesama ambtenaar (priyayi lokal), maka wajar jika berusaha mencari penghasilan sampingan, misalnya memotong anggaran pembelian kopi petani Preanger Stelsel, mengambil anggaran gaji buruh kuli Jalan Pos, menambah keharusan sewa tanah di kultivasi massal Van Den Bosch, atau ya menawarkan buruh murah buat pabrik gula. Perilaku mentalitas ganda priyayi menengah ini nampaknya yang dibawa serta saat republik mengakuisi wilayah negara koloni Hindia Belanda, sedang birokrat kelas atas yang diisi Eropa belum sempat kasih ilmunya. Mentalitas ganda mempertahankan modal sosial dengan gaji terbatas, lalu mengambil sampingan dari proyek-proyek pemerintah atau perusahaan negara, untuk mempertahankan kewibawaan dan menjaga jarak kekuasaan (power distance) dari kelas bawah, ini memang khas sekali mentalitas pejabat lokal kolonial.

Tulisan diatas bukan apologi, pembenaran secara antropologi, hanya berusaha membedah mentalitas manusia. Celakanya lagi generasi muda didikan tahun 1970-an sampai 2021 ini jelas-jelas menganut mazhab ekonomi akumulasi, dan mengharamkan atau ya minimal menertawakan mazhab distribusi. Model pertarungan individual ala WallStreet buat meraih kemenangan individual juga, lebih dihormati oleh kawan seangkatannya. Ini agama baru yang sebenarnya beda jauh dengan agama yang dianut secara masif oleh lingkungan pertetanggaannya secara nasional. Maka generasi muda kelahiran 1980-an sampai 2010-an ini cenderung membenci budaya komunal, melabelinya dengan dekat komunis, kalau perlu bikin cluster perumahan terpisah dan mendidik anaknya dengan model kurikulum terpisah, itu manusiawi. Maka wajar sobat-sobat yang tinggal di kawasan Jancukarta dan daerah sekitarnya pun sukar bertetangga dengan penduduk lokal yang sebenarnya masih ada MCK di sungai, dikooptasi organisasi massa, jadi bulan-bulanan penguasa buat dimobilisasi saat diperlukan jadi tumbal. Maka wajar juga kesenjangan pendapatan di wilayah Jancukarta dan sekitar itu tinggi, semua wajar.

Menjembatani mazhab ekonomi distribusi dan akumulasi itu ada caranya, beberapa sudah bisa, dan keren. Tapi tentunya tidak ditulis di Facebook,

Referensi:

Tulisan: Hofstede, Kaplan, Lombard, Van Klinken, Michael Hudson, Ray Dalio.

--

--

Danang Priabada
Danang Priabada

Written by Danang Priabada

Red Hat and IBM Product Specialist | JPN : プリアバダ ダナン | CHN : 逹男 | linktr.ee/danangpriabada

No responses yet