Industri 4.0 Hanya Sebuah Wacana Di Negri Wakanda

Danang Priabada
2 min readApr 14, 2021

--

Mungkin kampus elit memang fungsinya sebagai penguat (amplifikasi) ruang gema (echo chamber) bagi rezim yang selalu berusaha membangun kesadaran artifisial (manufacturing consent) lewat media-media yang sudah dipersiapkan, atau dimiliki oleh individual pendukung rezim pemerintah, beserta propagandis-propagandis profesional yang bermain seolah-olah independen padahal fungsinya hanyalah amplifikasi (penguat sinyal) buat ide-ide satu arah yang digemakan oleh rezim.

Kampus yang berisi kaum-kaum terdidik-terlatih berpengalaman luas ternyata memang menjadi penguat ruang gema (echo chamber) itu, indikasinya adalah munculnya kata-kata kunci canggih (sophisticated keyword) semacam: industri 4.0, energi bersih terbarukan (maksudnya elektrik pengganti mekanik berbahan bakar hidrokarbon), industri kreatif, usaha kecil menengah (small medium enterprise) yang sangat cantik, indah, terasa intelek dan mengikuti arus utama WTO, Bank Dunia, IMF, serta kesepakatan-kesepakatan dagang lain, tapi kalau dilihat di luar, maksudnya kondisi perekonomian berjalan di luar ibu kota, aktivitas masih mengandalkan teknologi 1.0, mungkin ada 3.0 tapi sebagai konsumen, mekanistik serba manual, usaha kecil menengah juga tidak bisa mengakses kredit bank, bertahan hidup dengan saling bantu menangguhkan pembayaran sesama pengusaha kecil.

Jadi tidak mungkin kata kunci (keyword) semacam: industri 4.0, fintech, inklusi keuangan, SME, itu dibuat oleh orang yang tidak makan sekolah, pasti ada pembisik yang mengikuti perkembangan pasar global sebagai copywriter (penulis) proposal versi rezim. Bahasa -bahasa yang digunakan dalam pengambilan kebijakan sangat canggih (sophisticated), itu pula kesadaran publik yang dibangun secara artifisial (manufacturing consent) lewat media-media besar atau media sosial pendukung rezim. Pakar-pakar dari kampus elit fungsinya adalah amplifikasi ruang gema (echo chamber), yang memantul-mantulkan bahasa-bahasa canggih itu sehingga seolah-olah semua solutif benar bisa dijalankan, atau menyelesaikan masalah.

Halusinasi massal hasil kombinasi kesadaran artifisial (manufacturing consent) yang didukung perangkat media dan media sosial bermodal entah darimana ini diperkuat (amplifikasi) oleh pakar-pakar kampus elit yang bersuara sama ataupun diam (diam berarti setuju dengan gema satu bahasa ini), resonansinya kuat, tapi relevansinya lemah, hanya memang tidak banyak yang mampu melihat irelevansi dari situasi semacam ini. Mungkin ada juga orang-orang yang tinggal di gunung hutan pantai atau pulau terpencil hidup damai tanpa kegaduhan, tapi mereka posisinya di luar kerumunan dan jumlahnya juga tidak banyak.

Menarik memang jika sebuah negara kesepakatan ternyata swastanya lemah, mengandalkan badan usaha negara buat bertransaksi, dan warga negaranya jadi ruang kosong dengan satu suara bergema dari rezim, tidak ada pembayar pajak sipil yang dianggap manusia dewasa, dan bahasa oposisi terlalu mengerikan buat bunyi, walaupun ringkih.

Kasihan Myanmar, situasinya semacam di atas.

--

--

Danang Priabada
Danang Priabada

Written by Danang Priabada

Red Hat and IBM Product Specialist | JPN : プリアバダ ダナン | CHN : 逹男 | linktr.ee/danangpriabada

No responses yet